Novri Sy Al-Mujahidiy

Friday, January 21, 2005

Allah, Beri Kami Surga Kecil

Allah, beri kami surga kecil Rumah syhadu berhias rahmah Di sana tergelar helai-helai sajadah Tempat kami berpinta dan bermunajah

Allah beri kami surga kecil,
Istana mungil bertahta sakinah Tempat kami berteduh melepas lelah Ranjang kokoh bertabur berkah Tempat malam-malam kami dipeluk mimpi indah

Allah, beri kami surga kecil
(sebuah sumber)

eramuslim - Ada yang enggan menikah. Bukan ada lagi, bahkan banyak. Salah satu alasan yang paling sering hinggap di telinga adalah kemapanan. Belum punya rumah tinggal. Belum berpenghasilan tetap. Bahkan salah seorang teman kampus menyatakan ia akan menikah setelah mempunyai rumah dan kendaraan beroda empat. Kalau rumah dan mobil belum termiliki, menurutnya kebahagiaan menikah tidak akan ada. Kalau tidak bahagia, buat apa menikah!

Tapi benarkah kebahagiaan menikah melulu terletak pada kemapanan dan ketersediaan materi? Benarkah sakinah terengkuh kalau sudah punya hunian yang nyaman, kendaraan berkelas dan penghasilan yang mencapai nominal tertentu. Bisa jadi demikian tapi sepertinya saya harus menggelengkan kepala. Saya teringat pada seseorang. sahabat karib saya.

Entah di mana ia sekarang. Yang jelas kehidupan ekonominya naik kelas. Lelaki yang menikahinya orang kaya dan mempunyai pekerjaan di tempat yang kata orang 'basah'. Sewaktu dia menikah orang-orang menganggapnya beruntung karena mendapatkan jodoh yang demikian yahud. Suatu ketika Allah memperkenankan kami bertemu. Yupe, ia terlihat lain. Dandanan orang 'berpunya'. Kami mengobrol. Iseng-iseng saya membuka majalah dan menunjukkan kepadanya iklan perumahan. Saya bilang alangkah senangnya punya rumah megah seperti itu. Tapi jawabannya membuat saya terdiam.

"Ah kata siapa punya rumah kaya gitu menyenangkan, siap-siap aza suaminya selalu bergelut dengan pekerjaan, pulang larut pergi dini hari, yang di kepalanya cuma bisnis, waktu baginya adalah uang, mau punya anak aza berhitung minta ampun, kita memang berlimpah harta, tapi di sini sepi," urainya sambil menunjuk dada. Nampak sekali ia gundah. Dan curhatlah ia. Tumpah ruah.

Saya memandangnya lekat. Sama sekali tidak menyangka bahwa menurutnya kebahagiaanya terenggut sejak pertama ia menikahi seseorang yang dipilihkan orang tuanya, beberapa tahun yang lalu. Ia berlimpah kekayaan tapi sungguh ia tidak bahagia.

***

Ini kisah lain. Suaminya sekarang mapan. Sofa mahal itu bukan lagi masalah dan ruang tamunya terlihat lain. Lebih indah dan nyaman. Rumahnya baru direnovasi. Lantai keramik, kitchen set lengkap, kamar mandi ber-shower, belum lagi alat-alat rumah tangga serba elektronik yang ikut diganti menjadi baru dan lebih canggih. Hidupnya menjadi lebih mudah. Dan setiap pulang kampung dengan mobil barunya, maka ia pasti dipuji-puji karena tangan yang ia tempelkan ketika salaman tidaklah kosong.

Orang-orang menganggap bahwa kebahagiaan adalah kini miliknya. Tapi tunggu dulu! Justru saat-saat sekarang ia jarang mengembangkan senyuman. Jika dengan seksama memperhatikannya, kekhawatiran itu dominan terlihat. Bahkan ia berubah menjadi seorang ibu yang murung dan pemarah. Kesalahan anak-anaknya yang sepele membuatnya menjadi pemberang.

Rumah 'impiannya' berubah megah. Tapi segalanya juga berubah. Suaminya sedikit demi sedikit menjelma diktator yang menciutkan keberadaanya. Titah suaminya sedikitpun tak boleh dicela. Jika suaminya berkata A maka seisi rumah harus utuh menelannya bulat-bulat. Tak ada lagi suami yang senang bercanda dan meleburkan kepenatan kesehariannya. Entah ke mana sosok suami sabar, penyayang dan suka membantu pekerjaan domestiknya. Suaminya berubah menjadi seorang yang asing. Dan hal ini yang membuatnya dadanya sesak, membuat air matanya luruh diam-diam dan menguras energinya untuk tersenyum. Iya kalau materi menjadi berlimpah, tapi ketentraman bathinnya terkikis habis-habisan. Iya jika uang belanja menjadi berlipat-lipat tapi suaminya menjadi sok kuasa dan sering melecehkannya. Yang memilukan adalah suaminya marah-marah jika diingatkan untuk mendirikan shalat.

Kemapanan telah tergenggam, tapi apakah berbanding lurus dengan kebahagiaan yang berkelindan dalam dadanya? Tidak!

***

Saya jadi teringat dengan pesan almarhum ayah. Menurutnya harta bukan jaminan untuk mewujudkan keluarga bahagia. "Harta hanya sementara, sedangkan kebahagiaan seharusnya tetap hadir meski tanpanya," itu katanya suatu saat. Ia menambahkan, yang paling penting dan harus selalu ada dalam rumah tangga adalah pilar agama bukan pilar beton megah. Tanpa agama keluarga seperti minyak wangi dalam botol yang tidak ada katupnya. Semerbaknya hanya sementara, wanginya perlahan menghilang terbawa angin. Indahnya hanya di awal-awal saja. Manisnya berada di permulaan. Seiring waktu berjalan, mereka lupa misi pelayaran keluarga. Dan ketenangan itu sirna. Padahal tujuan berkeluarga adalah merengkuh ketenangan. Maka tak heran ada yang tidak betah lagi tinggal di rumah. Rumah megah itu hanya menjadi tempat singgah. Itu alegori ayah yang saya kenang sampai sekarang.

Siapapun orangnya tentu berkeinginan membangun keluarga penuh kebahagiaan. Karena apa? Karena keluarga bahagia adalah surga. Surga kecil yang Allah hadirkan sebelum surga akhirat dengan segala keindahan dan kenikmatan itu kelak. Keluarga bahagia adalah surga, karena di sana mereka betah bernaung dan menjadi tempat yang paling ingin disinggahi.

Surga kecil. Yah, surga yang hadir terlalu awal. Keluarga yang sakinah.

Allah, beri kami surga kecil!


Thursday, January 20, 2005

ada apa dengan malam pertama?

eramuslim - Merupakan sesuatu yang wajar jika malam pertama memiliki arti khusus bagi setiap pasangan suami istri. Di sinilah momen untuk pertama kalinya laki-laki dan perempuan yang baru diikat dalam tali pernikahan bertemu dalam satu ranjang pelaminan. Pertemuan pertama ini merupakan peristiwa penting dalam rangkaian ritual pernikahan dan dapat mempengaruhi secara psikologis terhadap perjalanan kehidupan rumah tangga selanjutnya.

Setiap pasangan pasti memiliki pengalaman yang berbeda dengan malam pertamanya. Sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi pihak suami atau istri di malam pertamanya boleh jadi akan mempengaruhi perjalanan rumah tangga mereka. Dua kisah berikut ini bukan rekaan melainkan kisah sebenarnya dengan nama yang disamarkan. Ibu Lenny mengalami kekecewaan di malam pertamanya karena sang suami menurutnya cenderung kasar dalam memulai hubungan suami istri (jima') sedangkan dirinya menyukai kelemah lembutan. Kejadian ini terus membekas dan mempengaruhi ibu Lenny sehingga setiap kali melakukan jima' dengan suaminya ia sama sekali tidak dapat menikmati dan selalu merasa kesakitan. Di sisi lain ia juga tidak mampu berterus terang kepada suaminya mengenai keadaan ini, dan akibatnya hingga memiliki tiga orang anak ia merasa belum dapat mencintai suaminya!

Lain lagi pengalaman Bapak Danu yang terus menyimpan kekecewaan terhadap istrinya karena tidak menjumpai adanya darah di malam pertama dan karena itu ia menduga istrinya sudah tidak perawan lagi. Bapak Danu merasa dibohongi, karena istrinya tidak berterus terang tentang keadaannya sebelum mereka menikah, sedangkan untuk bertanya ia khawatir istrinya tersinggung. Dan yang terjadi akhirnya hingga delapan tahun usia pernikahan mereka Bapak Danu merasa tidak dapat mencintai istrinya.

Kita boleh saja mengomentari dua kejadian diatas dengan menyalahkan Ibu Lenny atau Bapak Danu, tetapi kenyataannya mereka tidak bahagia dalam rumah tangga mereka karena kecewa di malam pertama!

Islam dan Malam Pertama

Malam Pertama merupakan salah satu rangkaian ritual pernikahan yang mendapat perhatian dalam Islam. Nabi kita yang mulia mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan pasangan pengantin pada malam pertamanya agar semua aktifitas bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Di antara tuntunan beliau SAW adalah:

1. Shalat Dua Raka'at Ketika Masuk Menemui Istri.

Setelah acara walimah/resepsi selesai dan suasana sudah tenang, suami akan masuk ke kamar pengantin untuk menemui istrinya. Pada saat itu disunnahkan bagi kedua mempelai melaksanakan shalat dua raka'at.

2. Membaca Do'a bagi Mempelai Laki-laki.

Setelah selesai melaksanakan shalat, disunnahkan bagi mempelai laki-laki untuk membaca do'a sebagaimana sabda Rasulullah SAW : "Jika salah seorang kamu menikahi perempuan, maka ia hendaklah membaca do'a :

'Allahumma inni as aluka khairaha wa khaira ma jabaltaha alaihi wa a'udzubika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha alaihi'.

Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang telah Engkau adakan untuknya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan dari keburukan yang Engkau adakan untuknya. (HR Abu Dawud)

3. Mencairkan suasana dengan saling berdialog.

Jika setelah itu suasana masih kaku, biasanya bagi istri, sebaiknya suami tidak tergesa-gesa dengan langsung melakukan jima'. Simaklah kisah malam pertama Syaikh Asy-Sya'bi, seorang tabi'in terkenal yang menikahi seorang perempuan dari Bani Tamim bernama Zainab binti Hudhair. Syaikh Asy-Sya'bi menuturkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Ahkamun Nisaa': "Setelah selesai walimah dan suasana kembali tenang, aku masuk menemuinya dan berkata, 'Sesungguhnya termasuk sunnah mengerjakan shalat dua raka'at. Lalu aku berdiri melakukannya dan memohon kepada Allah agar melimpahkan kebaikan di malam ini. Ketika aku berpaling ke kanan mengucapkan salam, aku melihatnya ikut shalat di belakangku. Kemudian ketika berpaling ke kiri, aku sudah melihatnya sudah berada di tempat tidurnya. Akupun mengulurkan tanganku, tetapi ia berkata, 'Sabarlah, sesungguhnya aku adalah perempuan yang asing bagimu. Demi Allah, kini aku sedang meniti jalan yang paling berat yang sebelumnya belum pernah ku alami. Engkau adalah laki-laki asing, aku belum mengenal perangaimu, maka ceritakanlah hal-hal yang engkau sukai untuk aku kerjakan dan hal-hal yang engkau benci untuk aku hindari. Akupun menjawab, 'Aku suka ini dan ini, aku benci ini dan itu,... sementara ia mendengarkanku dengan penuh perhatian. Akhirnya malam yang paling indah itupun aku raih."

4. Melakukan Jima'

Dalam melakukan jima' pertama ini hendaknya suami tidak tergesa-gesa. Keduanya hendaknya memperlakukan pasangannya dengan lemah lembut. Interaksi yang lemah lembut dan penuh kasih saying akan memudahkan mereka melakukan jima' pertama ini. Sebaiknya keduanya mempelajari terlebih dahulu adab-adab dan tata cara jima' yang diajarkan Rasulullah SAW. Sudah banyak buku karya ulama yang membahas tema ini, diantaranya Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin. Dalam salah satu pembahasannya beliau menulis tentang adab-adab jima' sebagai berikut:

a. Membaca Basmallah dan berdo'a sebelum melakukan jima'. "Dari Abdullah bin Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: "Jika salah seorang kamu ingin berjima' dengan istrinya, hendaklah ia membaca: 'Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithana wa jannibi asy-syaithana ma rozaqtanaa' (Dengan nama Allah, Yaa Allah jauhkanlah syetan dari kami dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau rizqikan kepada kami). Maka seandainya ditakdirkan dari hubungan itu seorang anak, anak itu tidak akan diganggu syetan selama-lamanya." (HR Bukhari dan Muslim)

b. Melakukan pemanasan (pengantar) jima'. Pengantar jima' dimaksudkan agar suami tidak mendatangi istrinya dalam kondisi istri tidak siap. Pada hakikatnya perempuan menginginkan dari laki-laki seperti laki-laki menginginkannya dari perempuan, hanya saja kesiapan perempuan untuk melakukan jima' tidak muncul setiap saat sebagaimana laki-laki. Beberapa pengantar jima' misalnya: saling mencumbu dengan melakukan hubungan ringan sebelum jima' dengan berciuman, berpelukan dan perbuatan yang lain yang kesemuanya dimaksudkan untuk memberi rangsangan dan membangkitkan gairah untuk melakukan jima'. Dengan melakukan pengantar jima' ini diharapkan keduanya dalam kondisi benar-benar siap untuk berjima' sehingga keduanya dapat meraih kepuasan.

c. Melakukan jima' tanpa tergesa-gesa. Lakukanlah jima' dengan kelembutan dan penuh kasih sayang.Jika dalam melakukan jima' pertama ini ternyata masih terdapat kesulitan, jangan tergesa-gesa untuk menyelesaikannya pada saat itu juga. Bersabarlah, mungkin akan mudah setelah berlangsung beberapa hari. Dan apabila suami mencapai kepuasan lebih dulu, hendaknya tidak tergesa-gesa beranjak dari istrinya, tunggulah sampai istri dapat meraih kepuasan.

Dengan memperhatikan tuntunan Rasulullah SAW tersebut malam pertama disamping akan menjadi kenangan indah bagi kedua pihak, sekaligus juga bernilai ibadah disisi Allah SWT.

Nah, bagaimana dengan malam pertama Anda?